CITRA PUSTAKAWAN
- Definisi Citra
- Jenis Citra
b. Current Image (Citra yang Berlaku). Citra yang berlaku adalah suatu citra atau pandangan yang dianut oleh pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi. Citra ini sepenuhnya ditentukan oleh banyak-sedikitnya informasi yang dimiliki oleh mereka yang mempercayainya. c. Multiple Image (Citra Majemuk). Citra majemuk yaitu adanya image yang bermacam-macam dari publiknya terhadap organisasi tertentu yang ditimbulkan oleh mereka yang mewakili organisasi kita dengan tingkah laku yang berbeda-beda atau tidak seirama dengan tujuan atau asas organisasi kita. d. Corporate Image (Citra Perusahaan). Apa yang dimaksud dengan citra perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan sekedar citra atas produk dan pelayanannya. e. Wish Image (Citra Yang Diharapkan). Citra harapan adalah suatu citra yang diinginkan oleh pihak manajemen atau suatu organisasi. Citra yang diharapkn biasanya dirumuskan dan diterapkan untuk sesuatu yang relatif baru, ketika khalayak belum memiliki informasi yang memadai mengenainya.
- Citra Pustakawan
a. Profesi pustakawan kurang diakui sepenuhnya oleh masyarakat
Profesi pustakawan di Indonesia relatif baru apabila dibanding dengan profesi lain seperti kedokteran, advokat, guru, wartawan, dan lainnya. Oleh karena itu wajar apabila dalam perjalanannya masih mencari bentuk dan menyesuaikan diri. Dalam proses ini dihadapkan pada beberapa kendala antara lain menyangkut pada pengakuan terhadap ilmu perpustakaan dan profesi pustakawan, rendahnya kinerja pustakawan, dan kurangnya perhatian pada perpustakaan.
b. Pustakawan sebagai orang yang tidak selalu memiliki gelar sarjana, apalagi master.
Faktanya, sebagian anggota masyarakat terdidik kita (baca: akademisi) juga masih ada yang memandang profesi pustakawan dengan sebelah mata. Sebagian yang lain berpandangan bahwa untuk menjadi seorang pustakawan tidak harus menempuh jenjang pendidikan tinggi, seperti sarjana dan pascasarjana, namun cukup lulusan sekolah menengah dengan tambahan mengikuti kursus kepustakawanan selama satu atau dua tahun. Malah ada yang lebih ekstrim lagi cukup dengan mengikuti satu dua seminar/ pelatihan/ workshop kepustakawanan dan dengan bekal satu dua sertifikat saja mereka bisa dengan mudah menyandang titel pustakawan. Padahal untuk menjadi profesi pustakawan diperlukan berbagai keahlian khusus yang menunjang profesi tersebut. Yang tidak kalah menariknya adalah sebuah kenyataan bahwa keterpurukan citra pustakawan dirusak oleh “pustakawan” sendiri. Pada saat ini kita sedang menyaksikan sebuah fenomena yang memilukan, yaitu para pengelola perpustakaan merasa malu atau minder mengenalkan dirinya sebagai pustakawan. Sampai ada seseorang yang latar pendidikan sampai jenjang S2 perpustakaan, akan tetapi tidak digunakan untuk menunjang kariernya sebagai pustakwan, malah memilih menjadi peneliti pusdokinfo dengan alasan predikat peneliti lebih keren daripada pustakawan. Demikian juga di kalangan mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan, apabila ditanyakan tentang jurusan yang diambilnya, biasanya dengan malu-malu mengatakannya. Begitu juga banyak terjadi di perusahaan-perusahaan besar, bidang dokinfo—yang perpustakaan berada di dalamnya—menjadi bidang untuk menampung orang-orang “buangan.” Ditempatkan di bagian perpustakaan sama dengan dimasukan kedalam “peti mati” atau karirnya telah berakhir. Citra tersebut bisa dirubah karena menarik tidaknya profesi pustakawan tergantung pada diri pustakawan itu sendiri. Sebab secara formal pemerintah telah mengakui dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara (Menpan) Nomor:33/Men/Pan/1998 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. Keputusan tersebut kemudian direvisi menjadi SK Menpan Nomor:132/Kep/M/Pan/12/tahun 2002. Selain itu pustakawan telah memiliki organisasi profesi sebagai wadah yang menampung, merespon, membela, menyalurkan, membina dan mengembangkan anggotanya, baik dalam ruang lingkup nasional yang bernama Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), Congress of South East Asean Librarians (Consal) untuk tingkat regional, maupun tingkat internasional yang bernama International Federation of Library Associations (IFLA), serta masih banyak forum atau organisasi yang lain.
c. Tunjangan untuk pustakawan sedikit
Pemeritah menghargai pustakawan sama halnya dengan masyarakat umum. Dari semua jenis fungsional yang ada, pustakawan berada pada “kasta” yang paling rendah, tentu saja dengan tunjangannya pun yang paling sedikit. Berikut ini merupakan perbandingan tunjangan jabatan berdasarkan jenis jabatannya, yaitu: No. Jenis Jabatan Jenjang Jabatan Tunjangan Jabatan 1 Peneliti Utama 1.118.000 2 Perencana Utama 1.118.000 3 Perekayasa Utama 1.118.000 4 Pranata Komputer Utama 1.000.000 5 Perpustakaan Utama 500.000 6 Arsiparis Utama 500.000 Sumber: diolah dari Profil Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil. Badan Kepegawaian Negara, 2004. Sedangkan sekarang menurut perpres nomor 47 tahun 2007 tentang jabatan fungsional pustakawan, tunjangan untuk pustakawan sudah bertambah menjadi 700.000.
d. Penampilan Pustakawan
Pustakawan dalam melayani pengunjung / pengguna perpustakaan, dituntut untuk berpenampilan semenarik mungkin, karena penampilan merupakan hal yang pertama dilihat oleh pengunjung / pengguna perpustakaan. Dengan penampilan awal yang baik, akan memberikan kesan pertama yang baik pula terhadap pengunjung / pengguna perpustakaan,sehingga akan timbul rasa kagum, simpati, dan hormat terhadap pustawawan/karyawan perpustakaan. Dengan penampilan yang buruk akan memberikan kesan yang negatif. Hal ini dikarenakan penampilan merupakan citra perpustakaan dimata pengunjung / pengguna perpustakaan. Dengan penampilan yang baik, citra atau image perpustakaan juga akan baik, demikian pula sebaliknya.
Dalam prakteknya, penampilan seseorang tidak dapat dibohongi, artinya penampilan tidak dapat dibuat-buat namun harus dihayati dan dilakukan dengan penuh keikhlasan (kerelaan), Hilangkan rasa keterpaksaan dalam melayani pengunjung/pengguna perpustakaan, karena hal ini akan mengakibatkan penampilan menjadi tidak baik.
DAFTAR PUSTAKA
Oliver, sandra. 2007. Strategi public relations. Jakarta: erlangga.
Soemirat, Soleh dan Ardianto, Elvinaro. 2008. Dasar – dasar public relations: Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sudarsono, Blasius. 2006. Berkaca sebelum keluar rumah: refleksi diri pustakawan dalam Antologi kepustakawanan Indonesia (hal. 74-84). Jakarta: IPI.
__. __. Membangun citra pustakawan Indonesia. http://www.bit.lipi.go.id/masyarakat-literasi/index.php/membangun-citra-pustakawan-indonesia?showall=1. Diakses tanggal 27 April 2011
__. __. Citra Pustakawan. http://celotehaziz.blogdetik.com/tag/citra-pustakawan/. Diakses tanggal 27 April 2011.
No comments:
Post a Comment